A.
KONDISI KEUANGAN GLOBAL
Tanggal 15 September 2008 menjadi catatan kelam
sejarah perekonomian Amerika Serikat, kebangkrutan Leman Brothers yang
merupakan salah satu perusahaan investasi atau bank keuangan senior dan
terbesar ke 4 di Amerika serikat menjadi awal dari drama krisis keuangan di
negara yang mengagung-agungkan sistem kapitalis tanpa batas.
Kondisi
bursa dan pasar keuangan secara global telah mengalami tekanan yang sangat
berat, akibat kerugian yang terjadi di pasar perumahan (subprime mortgages)
yang berimbas ke sektor keuangan Amerika Serikat. Lembaga-lembaga keuangan
raksasa mulai bertumbangan akibat nilai investasi mereka jeblok. Banyak
diantara lembaga-lembaga keuangan yang sudah berusia lebih dari seratus tahun
tersebut harus meminta penyelamatan keuangan mereka apabila tidak mau gulung
tikar. Bahkan Fannie Mae dan Freddie Mac, sebagai lembaga penyalur kredit
terbesar di AS dengan nilai kredit mencapai sekitar USD 5 triliun, juga harus
diselamatkan oleh Pemerintah. Investment Banker sekelas Lehman Brothers juga
terpaksa menutup usahanya. Kondisi bursa saham juga sangat memprihatinkan yang
ditunjukkan dengan turunnya indeks Dow Jones kepada posisi yang sangat rendah
(paling rendah dalam 2 dekade terakhir).
Hal ini
berimbas ke negara-negara lain di dunia, baik di Eropa, Asia, Australia maupun
Timur Tengah. Indeks harga saham di bursa global juga mengikuti keterpurukan
indeks harga saham bursa di AS, bahkan di Asia, termasuk Indonesia, indeks harga
saham menukik tajam melebihi penurunan indeks saham di AS sendiri. Hal ini
mengakibatkan kepanikan yang luar biasa bagi para investor, sehingga sentimen
negatif terus berkembang, yang mengakibatkan banyak harga saham dengan
fundamental yang bagus, nilainya ikut tergerus tajam.
Pemerintah Indonesia pun kelihatan panik dalam menyikapi permasalahan ini,
peristiwa ini menandai fase awal dirasakannya dampak krisis ekonomi global yang
pada mulanya terjadinya di Amerika dirasakan oleh negara Indonesia.
Selain keadaan
yang memprihatinkan di lingkungan bursa saham, nilai tukar mata uang di Asia
dan Australia pun ikut melemah terhadap dolar AS. Hal ini lebih dikarenakan
kekhawatiran investor asing yang menarik kembali investasinya sehingga
menukarkannya ke dalam dolar AS, sehingga mata uang lokal menjadi tertekan.
Dilihat dari faktor penyebabnya, krisis Ekonomi
global pada saat ini berbeda dengan krisis ekonomi yang melanda Indonesia lebih
kurang satu dasawarsa lalu, yang mana pada saat itu krisis ekonomi yang melanda
Indonesia lebih disebabkan oleh ketidakmampuan Indonesia menyediakan alat
pembayaran luar negeri, dan tidak kokohnya struktur perekonomian Indonesia,
tetapi krisis keuangan global pada tahun 2008 ini berasal dari faktor-faktor
yang terjadi di luar negeri. Tetapi kalau kita tidak hati-hati dan waspada
dalam menyikapi permasalahan ini, tidak mustahil dampak krisis keuangan global
pada tahun 2008 ini akan sama atau bahkan lebih buruk jika dibandingkan dengan
dampak dari krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1998.
Perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia, selain
menyebabkan volume perdagangan global pada tahun 2009 merosot tajam, juga akan
berdampak pada banyaknya industri besar yang terancam bangkrut, terjadinya
penurunan kapasitas produksi, dan terjadinya lonjakan jumlah pengangguran
dunia. Bagi negara-negara berkembang dan emerging markets, situasi ini dapat
merusak fundamental perekonomian, dan memicu terjadinya krisis ekonomi.
Kekhawatiran atas dampak negatif pelemahan ekonomi
global terhadap perekonomian di negara-negara emerging markets dan fenomena
flight to quality dari investor global di tengah krisis keuangan dunia dewasa
ini, telah memberikan tekanan pada mata uang seluruh dunia, termasuk Indonesia
dan mengeringkan likuiditas dolar Amerika Serikat di pasar domestik banyak
negara. Hal ini menyebabkan pasar valas di negara-negara maju maupun berkembang
cenderung bergejolak di tengah ketidakpastian yang meningkat.
Sebagai negara dengan perekonomian terbuka, meskipun
Indonesia telah membangun momentum pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, tidak
akan terlepas dari dampak negatif perlemahan ekonomi dunia tersebut. Krisis
keuangan global yang mulai berpengaruh secara signifikan dalam triwulan III
tahun 2008, dan second round effectnya akan mulai dirasakan meningkat
intensitasnya pada tahun 2009, diperkirakan akan berdampak negatif pada kinerja
ekonomi makro Indonesia dalam tahun 2009 baik di sisi neraca pembayaran dan
neraca sektor riil, maupun sektor moneter dan sektor fiskal (APBN).
Dampak negatif yang paling cepat dirasakan sebagai
akibat dari krisis perekonomian global adalah pada sektor keuangan melalui
aspek sentimen psikologis maupun akibat merosotnya likuiditas global. Penurunan
indeks harga saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) mencapai sekitar 50,0 persen,
dan depresiasi nilai tukar rupiah disertai dengan volatilitas yang meningkat.
Sepanjang tahun 2008, nilai tukar rupiah telah terdepresiasi sebesar 17,5
persen. Kecenderungan volatilitas nilai tukar rupiah tersebut masih akan
berlanjut hingga tahun 2009 dengan masih berlangsungnya upaya penurunan utang
(deleveraging) dari lembaga keuangan global.
B.
PENYEBAB
KRISIS EKONOMI GLOBAL
Di tengah dinamika ekonomi global yang terus-menerus
berubah dengan akselerasi yang semakin tinggi sebagaimana digambarkan di atas,
Indonesia mengalami terpaan badai krisis yang intensitasnya telah sampai pada
keadaan yang nyaris menuju kebangkrutan ekonomi.
Krisis ekonomi – yang dipicu oleh krisis moneter –
beberapa waktu yang lalu, paling tidak telah memberikan indikasi yang kuat
terhadap tiga hal. Pertama, kredibilitas pemerintah telah sampai pada titik
nadir. Penyebab utamanya adalah karena langkah-langkah yang ditempuh pemerintah
dalam merenspons krisis selama ini lebih bersifat “tambal-sulam”, ad-hoc, dan
cenderung menempuh jalan yang berputar-putar.
Selain itu, seluruh sumber daya yang dimiliki negeri
ini dicurahkan sepenuhnya untuk menyelamatkan sektor modern dari titik
kehancuran. Sementara itu, sektor tradisional, sektor informal, dan ekonomi
rakyat, yang juga memiliki eksistensi di negeri ini seakan-akan dilupakan dari
wacana penyelamatan perekonomian yang tengah menggema.
Kedua, rezim Orde Baru yang selalu mengedepankan
pertumbuhan (growth) ekonomi telah menghasilkan crony capitalism yang telah
membuat struktur perekonomian menjadi sangat rapuh terhadap gejolak-gejolak
eksternal. Industri manufaktur yang sempat dibanggakan itu ternyata sangat
bergantung pada bahan baku impor dan tak memiliki daya tahan. Sementara itu,
akibat “dianak-tirikan”, sektor pertanian pun juga tak kunjung mature sebagai
penopang laju industrialisasi. Yang saat itu terjadi adalah derap
industrialisasi melalui serangkaian kebijakan yang cenderung merugikan sektor
pertanian. Akibatnya, sektor pertanian tak mampu berkembang secara sehat dalam
merespons perubahan pola konsumsi masyarakat dan memperkuat competitive
advantage produk-produk ekspor Indonesia.
Salah satu faktor terpenting yang bisa menjelaskan
kecenderungan di atas adalah karena proses penyesuaian ekonomi dan politik
(economic and political adjustment) tidak berlangsung secara mulus dan alamiah.
Soeharto-style state-assisted capitalism nyata-nyata telah merusak dan
merapuhkan tatanan perekonomian. Memang di satu sisi pertumbuhan ekonomi yang
telah dihasilkan cukup tinggi, namun mengakibatkan ekses yang ujung-ujungnya
justru counter productive bagi pertumbuhan yang berkelanjutan.
Ketiga, rezim yang sangat korup telah membuat
sendi-sendi perekonomian mengalami kerapuhan. Secara umum, segala bentuk
korupsi akan mengakibatkan arah alokasi sumber daya perekonomian menjurus pada
kegiatan-kegiatan yang tidak produktif dan tidak memberikan hasil optimum.
Dalam kondisi seperti ini pertumbuhan ekonomi memang sangat mungkin terus
berlangsung, bahkan pada intensitas yang relatif tinggi. Namun demikian, sampai
pada batas tertentu pasti akan mengakibatkan melemahnya basis pertumbuhan.
Selanjutnya, praktik-praktik korupsi secara perlahan
C tapi pasti C telah merusak tatanan ekonomi dan pembusukan politik yang
disebabkan oleh perilaku penguasa, elit politik, dan jajaran birokrasi. Keadaan
semakin parah ketika jajaran angkatan bersenjata dan aparat penegak hukum pun
ternyata juga turut terseret ke dalam jaringan praktik-praktik korupsi itu.
Hancurnya kredibilitas pemerintah yang dibarengi
dengan tingginya ketidakpastian itu telah menyebabkan terkikisnya kepercayaan
(trust). Yang terjadi dewasa ini tidak hanya sekadar pudarnya trust masyarakat
terhadap pemerintah dan sebaliknya, melainkan juga antara pihak luar negeri
dengan pemerintah, serta di antara sesama kelompok masyarakat. Yang terakhir
disebutkan itu tercermin dengan sangat jelas dari keberingasan massa terhadap
simbol-simbol kekuasaan serta kemewahan dan terhadap kelompok etnis Cina,
seperti yang dikenal dengan peristiwa Mei 1998.
Sementara itu, krisis kepercayaan masyarakat
terhadap pemerintah dapat dilihat dari respons masyarakat yang kerap kali
berlawanan dengan tujuan kebijakan yang ditempuh pemerintah. Misalnya,
kebijakan pemerintah yang seharusnya berupaya menggiring ekspektasi masyarakat
ke arah kanan, justru telah menimbulkan respons masyarakat menuju ke arah kiri,
dan sebaliknya. Faktor lainnya adalah semakin timpangnya distribusi pendapatan
dan kekayaan, sehingga mengakibatkan lunturnya solidaritas sosial.
C.
LANGKAH-LANGKAH
YANG TELAH DITEMPUH UNTUK MEMITIGASI DAMPAK KRISIS
Bail out untuk mengatasi krisis keuangan yang
diusulkan oleh Pemerintah AS serta telah disetujui oleh Parlemen dengan dana
sebesar USD 700 miliar, ternyata masih belum cukup meredam dampak krisis yang
terjadi baik di AS sendiri maupun secara global. Kebijakan The Fed dengan
menurunkan suku bunga dari 2% menjadi 1,5% juga masih belum banyak berdampak.
Selain itu masih banyak langkah lain yang ditempuh oleh Pemerintah AS termasuk
membuat berbagai regulasi baru untuk mencegah krisis semakin memburuk.
Negara-negara lain, baik di kawasan Eropa, Asia Pasifik maupun Timur Tengah, juga menyikapi krisis keuangan global ini dengan mengambil berbagai langkah serius secara simultan, antara lain:
Negara-negara lain, baik di kawasan Eropa, Asia Pasifik maupun Timur Tengah, juga menyikapi krisis keuangan global ini dengan mengambil berbagai langkah serius secara simultan, antara lain:
- Negara
di zona Euro, menjamin pinjaman antar bank, menambah likuiditas perbankan,
menyutikkan modal bank serta memperbaiki sistem pembukuan perbankan.
- Inggris
menyuntikkan USD 64 miliar kepada tiga bank, sedangkan Jerman meluncurkan paket
penyelamatan perbankan sebesar USD 640 miliar.
- Korea
Selatan menjamin akan menyuntikkan dana USD 130 miliar ke perbankan.
- Uni
Emirat Arab menyuntikkan USD 19,06 miliar dolar ke perbankan.
- Negara
di seluruh dunia telah mencanangkan untuk menyediakan dana sebesar USD 3,2
triliun untuk menyelamatkan perbankan.
D.
DAMPAK TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA
a. Dampak terhadap Perbankan
Dalam
konteks perbankan, Pemerintah perlu berhati-hati, karena tidak ada yang dapat
memperkirakan dalam dan luasnya krisis keungan global ini. Menyikapi
permasalahan ini, Pemerintah dan otoritas moneter telah melakukan beberapa
langkah yang sangat tepat untuk mengurangi kekhawatiran/ketidakpercayaan publik
terhadap kapabilitas dan likuiditas bank-bank nasional, yaitu antara lain:
- Penaikkan BI rate menjadi 9,5% untuk
mengantisipasi depresiasi terhadap nilai Rupiah dengan meningkatkan
atraktifitas investasi dalam nilai Rupiah akibat spread bunga domestik dan luar
negeri yang cukup tinggi;
- Peningkatan jumlah simpanan di bank
yang dijamin oleh Pemerintah dari Rp 100 juta menjadi Rp 2 milyar, untuk
mengantisipasi rush akibat kekhawatiran masyarakat terhadap keamanan
simpanannya di bank. Hal ini dilakukan dengan pengeluaran Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang. (Perpu);
- Perluasan jenis aset milik bank yang
boleh diagunkan kepada BI, yang tadinya hanya meliputi aset kualitas tinggi
(SBI dan SUN), namun melalui Perpu, aset yang dapat dijaminkan diperluas dengan
Kredit lancar milik bank (ditujukan untuk mengantisipasi turunnya harga pasar
SUN, yang terlihat dengan naiknya yield). Hal ini ditujukan untuk mempermudah
Bank dalam mengatasi kesulitan likuiditas, sehingga dapat memperoleh jumlah
dana yang cukup dari BI.
Kekhawatiran
yang dialami oleh masyarakat terhadap dunia perbankan, sebenarnya lebih
berdasarkan pada sentimen negatif yang berlebihan akibat krisis di Amerika
Serikat dan negara-negara Eropa. Apabila penanganan krisis di negara-negara
tersebut berhasil, maka otomatis kekhawatiran masyarakat terhadap perbankan
nasional pun akan hilang. Namun sebaliknya, apabila krisis global bertambah
parah, maka kekhawatiran masyarakat juga akan meningkat yang dapat
mengakibatkan meningkatnya animo masyarakat untuk mengambil simpanannya di
bank-bank nasional, sehingga akan membuat ambruknya sendi-sendi perbankan
nasional. Untuk mengantisipasi hal ini, maka salah satu alternatif yang perlu
dipikirkan oleh Pemerintah adalah dengan menjamin 100% semua dana nasabah,
termasuk dana kredit yang dikucurkan oleh bank. Hal ini bertujuan agar
masyarakat tidak khawatir terhadap simpanannya dan dunia perbankan bisa
berjalan dengan normal sekaligus menjaga sektor riel bisa tetap bergerak dengan
terjaminnya kebutuhan dana dari perbankan.
b. Dampak terhadap Bursa Saham
Bursa saham Indonesia juga mengalami
penurunan indeks yang signifikan, sampai melebihi 11%, sehingga memaksa
Otoritas Bursa untuk melakukan penghentian perdagangan selama 3 hari untuk
mencegah lebih terpuruknya bursa akibat sentimen negatif. Untuk memitigasi
kemungkinan lebih terpuruknya indeks yang tidak mencerminkan fundamental
perusahaan, maka telah diambil berbagai langkah antar lain:
- Pelarangan short selling, dan
penyelidikan terhadapa beberapa perusahaan sekuritas yang disinyalir melakukan
short selling pada saat terjadi kepanikan di BEI.
- Penetapan auto rejection sampai
dengan 10% (batas atas dan batas bawah) dari sebelumnya sebesar 30%, untuk
mencegah lebih terburuknya indeks dan di sisi lain mencegah terjadinya aksi
profit taking yang berlebihan dari investor. (Walaupun sebenarnya kebijakan
ini, terutama untuk ketentuan batas atas, akan memperlambat pulihnya indeks/rebound).
- Pencanangan program buyback oleh
Pemerintah dan BUMN yang diikuti dengan pengendoran aturan buyback di bursa
saham, yang bertujuan untuk menstabilkan pasar saham serta mencegah dikuasainya
aset negara oleh pihak-pihak asing dengan harga sangat murah.
c. Dampak terhadap Nilai Tukar dan
Inflasi
Dampak krisis keuangan jelas
terlihat pada nilai tukar Rupiah yang melemah terhadap dolar AS bahkan sempat
mencapai RP 10.000/USD pada minggu kedua Oktober 2008. Hal ini lebih
dikarenakan adanya aliran keluar modal asing akibat kepanikan yang berlebihan
terhadap krisis keuangan global.
Dampak sejenis juga akan terjadi
pada inflasi. Karena melemahnya Rupiah terhadap USD, maka harga barang-barang
juga akan terimbas untuk naik, karena Indonesia masih mengimpor banyak kebutuhan
termasuk tepung dan kedelai.
d. Dampak terhadap Ekspor dan Impor
Krisis keuangan global ini sudah
pasti akan sangat berdampak kepada ekspor Indonesia ke negara-negara tujuan
ekspor, bukan hanya ke AS. Selama 5 tahun terakhir ini, ekspor Indonesia ke
Amerika menempati urutan ke-2 setelah Jepang dengan kisaran masing-masing 12% –
15%. Selain itu, negara-negara importir produk Indonesia pada urutan ke-3 sampai
dengan 10 (Singapura, RRC, India, Malaysia, Korsel, Belanda, Thailand, Taiwan)
menyumbang sekitar 45% dari total ekspor Indonesia. Dari informasi tersebut,
hampir dapat dipastikan bahwa keseluruhan negara-negara tersebut sedang
mengalami dampak krisis keuangan global yang berakibat pada perlambatan ekonomi
di setiap negara. Lebih lanjut hal ini akan mengakibatkan penurunan kemampuan
membeli atau bahkan membayar produk ekspor yang dihasilkan Indonesia, sehingga
pada akhirnya akan memukul industri yang berorientasi ekspor di Indonesia. Hal
ini sudah terkemuka di publik melalui media massa, terutama untuk sektor
garmen, kerajinan, mebel dan sepatu, banyak keluhan para pelaku bisnis yang
mengatalami penurunan order dan kelambatan pembayaran dari rekanan bisnis yang
mengimport barangnya. (Data statistik belum dapat diperoleh).
Dampak yang tidak menguntungkan juga
terjadi di sisi impor, karena dengan melemahnya Rupiah, maka nilai impor akan
melonjak yang selanjutnya akan menyulitkan para importir untuk menyelesaikan
transaksi impor. Dampak berikutnya adalah melonjaknya harga-harga bahan yang
berasal dari impor di pasar sehingga inflasi meningkat dan daya beli masyarakat
juga akan menurun. Hal ini selanjutnya mengakibatkan turunnya daya serap
masayrakat terhadap barang-barang impor sehingga pada akhirnya akan
mengakibatkan penurunan jumlah impor.
e. Dampak terhadap Sektor Riel dan
Pengangguran
Dampak terhadap sektor riel dapat
dilihat dari dua aspek, yaitu:
- Menurunnya order dari rekanan di
luar negeri sehingga banyak perusahaan kesulitan memasarkan produknya yang pada
akhirnya harus melakukan efisiensi atau rasionalisasi supaya dapat bertahan
hidup.
- Melemahnya
daya beli masyarakat Indonesia karena melemahnya mata uang Rupiah dan kenaikan
inflasi serta kesulitan likuiditas atau modal kerja dari perbankan yang
mengetatkan kebijakan pemberian kreditnya.
Kedua hal tersebut mengakibatkan industri di sektor
riel menjadi tertekan, sehingga apabila hal ini berlarut-larut akan melemahkan
daya tahan perusahaan yang akan berimbas pada kemungkinan melakukan PHK bagi
para karyawannnya demi mengurangi beban perusahaan atau karena memang
perusahaan sudah tidak mampu lagi beroperasi.
E.
CARA
MENGATASI KRISIS EKONOMI GLOBAL
Mengatasi Penyebab dan Dampak Krisis Ekonomi Global
masih menjadi berita hangat tanpa melewati 1 (satu) hari pun dalam bulan-bulan
terakhir ini. Berbicara krisis ekonomi adalah bukan berbicara tentang nasib 1
(satu) orang bahkan lebih dari itu semua karena ini menyangkut nasib sebuah
bangsa. Berbagai argument dan komentar pun dilontarkan di berbagai media yang
selalu memojokkan pemerintahan Yudhoyono dan BI (Bank Indonesia)
Krisis keuangan Amerika Serikat menyebabkan masalah
global keuangan dunia, untuk mengatasi hal tersebut Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono telah mengeluarkan sepuluh arahan:
1.
semua kalangan tetap
optimis, dan bersinergi menghadapi krisis keuangan;
2.
tetap pertahankan nilai
pertumbuhan enam persen;
3.
optimalisasi APBN 2009;
4.
dunia usaha khususnya
sektor riil harus tetap bergerak;
5.
semua pihak agar cerdas
menangkap peluang;
6.
galakkan kembali
penggunaan produk dalam negeri;
7.
tingkatkan sikap
profesionalisme;
8.
kerja sama dalam
menghadapi masalah;
9.
tidak melakukan langkah
non partisan;
10.
komunikasi yang bijak.
Sementara itu Mudrajad Kuncoro (2008) mengatakan
bahwa setidaknya ada dua langkah strategis dalam mengatasi dampak krisis
keuangan global, yaitu Demand pull strategy dan supply push strategy. Demand
pull strategy mencakup strategi perkuatan sisi permintaan, yang bisa dilakukan
dengan perbaikan iklim bisnis, fasilitasi mendapatkan HAKI (paten), fasilitasi
pemasaran domestik dan luar negeri dan menyediakan peluang pasar. Langkah
strategis lainnya adalah supply push strategy yang mencakup strategy pendorong
sisi penawaran, ini bisa dilakukan dengan ketersediaan bahan baku, dukungan
permodalan, bantuan teknologi/mesin/alat, dan peningkatan kemampuan sumber daya
manusia.
Sadar atau pun tidak sadar Akibat Krisis Ekonomi
Global kali ini sudah sangat jauh merambah dalam berbagai strata masyarakat.
Dimana-mana pengangguran semakin bertambah Income perkapita drastis menurun
karena beberapa industri mulai merampingkan tenaga-kerja atau mulai meliburkan
tenaga kerja tanpa batas waktu. Senada dengan hal itu investor-investor lokal
dan Asing pun mulai menarik saham dalam
industri-industri di Indonesia. Dari kejadian kejadian itu akan menjadikan
peluang untuk Angka Kriminalitas akan melonjak naik Grafiknya di tanah air
belum lagi kasus-kasus korupsi terbaikan karena bangsa ini telah disibukkan
dengan masalah yang lebih di prioritaskan sehingga dengan bebasnya para
koruptor meneruskan aksinya ditiap jenjang. “Selamat buat para koruptor Anda
bisa keluar dari persembunyain untuk sementara Waktu. How pity a Country !”
Memang sangat Ironis di satu sisi Indonesia yang
dikenal sebagai negara Agraris tapi disisi lain beberapa item bahan pokok masih
mengandalkan hasil import dari negara tetangga. Yah ini mungkin salah satu
kelemahan dari bangsa kita bahkan diri kita yang sebagai rakyat yang kurang
berusaha secara profesional dalam mengelola asset-asset yang ada dalam
lahan-lahan indonesia. Lihat saja kekayaan Alam Indonesia mulai dari hasil laut
belum dapat dikelola dengan baik karena Fasilitas-fasilitas nelayan kurang
memadai sehingga negara-negara lain meraup keuntungan dari hasil menangkap
hasil laut dengan cara yang tidak fair. Belum lagi persediaan minyak yang
semakin lama semakin menipis serta Tambang-tambang Emas yang masih dikuasai
negara asing. Jadi sangat disayangkan Punya Harta yang sangat berlimpah ruah
tapi tidak dapat dinikmati secara maksimal oleh bangsa ini.
Jadi memanglah tepat ketika Ketua Presidium
Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI ) menyatakan bahwa
Krisis ekonomi global telah terjebak pada sistem kapitalisme internasional
sehingga sampai saat ini sepertinya tak ada persiapan jelas menghadapi krisis
keuangan global yang berawal dari runtuhnya industri keuangan di Amerika
Serikat. Mereka yang krisis kita yang ”hancur-hancuran” seperti pada bursa
saham sehingga menghentikan operasionalnya.
F.
FAKTA
PEREKONOMIAN INDONESIA SAAT KRISIS GLOBAL
1. Ekonomi Indonesia
Thomas R. Rumbaugh, Division Chief
IMF untuk kawasan Asia Pasifik, mengatakan performa ekonomi RI selama kuartal
1/2009 dengan catatan laju PDB sebesar 4,4%, menjadi salah satu pertanda
kuatnya perekonomian Indonesia dalam situasi krisis. Beliau mengungkapkan
bahwa, dengan melihat itu, revisi ke atas proyeksi laju ekonomi Indonesia,
sekarang laju PDB dapat tumbuh pada kisaran 3%-4% tahun ini.
Dalam laporan World Economic
Outlook yang dirilis dana moneter Internasional itu pada April, pertumbuhan
ekonomi Indonesia 2009 diproyeksikan 2,5%, terendah dibandingkan dengan
proyeksi lembaga penelitian dan multilateral lain. Adapun pemerintah Indonesia
mematok proyeksi PDB tahun ini pada kisaran 4%-4,5%. Menurut Rumbaugh, proyeksi
baru IMF dibuat dalam kisaran karena masih ada ketidakpastian dalam situasi
perekonomian dunia.
Meski begitu, dana moneter yang
berbasis di Washington DC itu memperkirakan tekanan inflasi 2009 di Indonesia
akan terus moderat ke angka sekitar 5%. Di tengah krisis ekonomi dunia,
pemerintah dan bank sentral dinilai telah cukup berhasil dalam melakukan
langkah antisipasi dibandingkan dengan Negara-negara lain.
Dari sisi kebijakan moneter dan
nilai tukar, IMF menilai pemangkasan BI Rate 250 basis poin sejak Desember 2008
sebagai langkah yang tepat. Akan tetapi, dari sisi fiskal dia mengingatkan
pentingnya pemerintah menggenjot penyerapan belanja langsung stimulus fiskal
pada periode semester II/2009. Pasalnya, kinerja ekonomi kuartal I yang cukup
baik lebih didukung oleh faktor stimulus pemotongan pajak yang telah terserap
dan juga pemilu legislatif.
Syahrial Loetan, sekretaris Menteri
Perencanaan Pembangunan Nasional/Sestama Bappenas, menilai revisi proyeksi laju
PDB Indonesia oleh IMF menjadi lebih baik merupakan pertanda lembaga itu
menyadari kesalahan proyeksi sebelumnya.
Penguatan arus dan masuk ke pasar
modal ikut mengerek nilai tukar rupiah hingga menembus level Rp9.000 atau
menguat 21,5% dari posisi tertinggi pada November 2008 yang mencapai Rp12.650
per dolar AS.
Penggerakan rupiah untuk pertama
kalinya sejak perdagangan Oktober 2008 terapresiasi melampaui Rp10.000 setelah
IHSG menguat 8 hari berturut-turut ke level 2.078,93, atau mencetak rekor
kenaikan simultan terpanjang sejak periode bullish 2007.
Indeks secara kumulatif
mengumpulkan 187,96 poin atau naik 9,94% dalam 6 hari terakhir, kenaikan itu
lebih tinggi dari rally simultan terpanjang 29 Juni-10 Juli pada 2 tahun lalu
sebesar 143,1 poin (6,7%).
2. Ekonomi Indonesia
dan Demokrasi
Indonesia saat ini, tulis Boediono,
masih berada pada zona resiko tinggi untuk kehidupan demokrasi. Hal ini
terlihat dari segi pendapatan per kapitanya yang masih kurang mendukung
terselenggaranya demokrasi secara baik. Dengan pendapatan per kapita sekitar
US$3.987 (International Monetary Fund, 2008) GDP Purshasing Power Parity (PPP)
per kapita Indonesia masih berada bahkan di bawah negara-negara seperti Vanuatu
dan Fiji, Indonesia masih berada di zona rawan dalam demokrasik. Kenapa?
Menurut penelitian, batas kritis bagi kelangsungan demokrasi di dunia adalah
apabila pendapatan per kapita sebuah Negara mencapai US$6.600.
Dari sebuah studi ekonomi dan
demokrasi, tercatat bahwa pada kurun 1950-1990, rezim demokrasi di
Negara-negara dengan penghasilan per kapita US$1.500 (dihitung berdasarkan PPP
tahun 2001) hanya mempunyai harapan hidup 8 tahun. Pada tingkat penghasilan per
kapita US$1.500-US$3.000, rezim demokrasi dapat bertahan rata-rata 18 tahun dan
pada tingkat pendapatan per kapita di atas US$6.000, daya hidup system
demokrasi di sebuah Negara jauh lebih besar dan probabilitas kegagalannya hanya
1:500.
Dengan pendapatan per kapita
Indonesia yang diperkirakan sekitar US$4.000, dimana batas krisis bagi
demokrasi sekitar US$6.600, maka Indonesia belum mencapai 2/3 jalan menuju
batasan bagi demokrasi.
Oleh karena itu, menurut Boediono,
pada tahap awal kehidupan demokrasi, Indonesia sebaiknya memberikan prioritas
tertinggi bagi upaya memacu pertumbuhan ekonomi dan sejauh mungkin menghindari
krisis.
Hal ini akan sangat mengurangi
resiko kegagalan demokrasi. Hal terbaik yang harus dilakukan, kata Boediono,
adalah secepatnya membangun perekonomian agar income per kapita bangsa
Indonesia mencapai batas aman bagi pemerintah demokrasi, yaitu US$6.600.
Menurut Boediono, pertumbuhan
ekonomi akan membantu tumbuhnya kelompok pembaharu dengan catatan: pertama,
pertumbuhan itu menyentuh dan broad-based; dan kedua prosesnya mengandalkan
kegiatan berdasarkan hasil kerja, inisiatif, dan kekuatan sumber daya
manusia—bukan dengan penjualan kekayaan alam, utang luar negeri, dan “rezeki
nomplok” lainnya.
3. Indonesia Cepat
Lalui Krisis
Menurut Institute for Management
Development (IMD), lembaga think thank dan pendidikan yang berpusat di Swiss,
Indonesia seperti Negara-negara lain di Asia Tenggara, memiliki daya tahan yang
cukup baik. Indonesia juga dianggap memiliki kemampuan untuk pulih dengan cepat
karena telah mengalami krisis keuangan cukup parah pada 1997/1998 sehingga
lebih baik dalam mengantisipasi krisis saat ini.
IMD mengatakan bahwa, Negara-negara
seperti itu seringkali mampu untuk beradaptasi dan pulih pada masa sulit.
Penjelasan lain adalah karena mereka telah mengalami krisis keuangan cukup
parah dan krisis properti satu decade lalu dan jadi lebih waspada dalam
kebijakannya.
Stress test versi IMD merupakan
analisis untuk mengukur sejauh mana Negara dapat melalui krisis dan memperbaiki
daya saingnya pada masa depan. Analisis dengan cakupan survey 57 negara itu
mengambil Indikator proyeksi ekonomi, pemerintah, bisnis, dan masyarakat
sebagai basis penilaiannya. Dari empat faktor yang dinilai dalam stress test,
daya tahan Indonesia untuk indikator pemerintah berada di peringkat-26. Adapun
indikator lain seperti proyeksi ekonomi, bisnis dan masyarakat, masing-masing
masuk ke posisi 33,36, dan 33.
Mentri Koordinator bidang
Perekonomian Sri Mulyani Indrawati optimis peringkat stress test Indonesia akan
lebih baik pada tahun depan karena survey IMD dilakukan terhadap indicator
ekonomi sepanjang 2008, ketika negeri ini masih diliputi dampak krisis cukup
parah. Kenyataannya, katanya, kinerja perekonomian pada kuartal I/2009 dan
proyeksi ekonomi RI sepanjang tahun ini lebih baik dibandingkan dengan
Megara-negara lain.
Perekonomian Indonesia pada kuartal
II/2009 diproyeksi sedikit melambat dibandingkan dengan kuartal sebelumnya,
kendati secara tahunan diyakini masih akan tumbuh 4%. Direktur Perencanaan
Makro Kemeneg PPN/Kepala Bappenas Bambang Prijambodo secara pribadi meyakini
pertumbuhan ekonomi pada kuartal II/2009 masih akan positif meski tidak sebesar
realisasi kuartal I/2009 yang mencapai 1,6%. Secara tahunan (year-on-year) juga
demikian, dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi kuartal I/2009 yang sebesar
4,4%, kemungkinan realisasi pada kuartal II/2009 lebih rendah di kisaran 4,4%.
Konsumsi masyarakat masih akan menjadi pendorong utama dari pertumbuhan ekonomi
kuartal II/2009 yang masih terjaga dengan adanya laksana pemilihan umum. Ekonom
Indef Ikhsan Modjo, mengatakan pertumbuhan ekonomi kuartal II/2009 kemungkinan
akan turun sedikit karena ekspor dan investasi masih lemah.
4. Kebijakan Moneter
Belum Cukup Longgar
Seiring dengan semakin
terkendalinya tekanan inflasi, BI sudah menurunkan bunga acuannya dengan
agresif. Pada November 2008, suku bungan acuan BI masih di level 9,5 persen.
Bulan Juni ini suku bunga acuan BI sudah turun ke 7 persen. Ini adalah level
terendah dalam sejarah suku bunga acuan BI. Sudah barang tentu langkah BI
menurunkan suku bunga dengan agresif tersebut disambut baik oleh banyak pihak.
Penurunan suku bunga acuan BI diperkirakan akan diikuti oleh bunga-bunga yang
lain, termasuk bunga pinjaman. Namun, harapan itu tak kunjung terwujud. Banyak
kalangan yang merasa kecewa melihat kenyataan yang ada. Suku bunga pinjaman
tidak turun secepat yang diharapkan.
Dengan suku bunga acuan BI pada
level 7 persen, seharusnya suku bunga pinjaman berada pada kisaran 11,9-12
persen. Angka suku bunga pinjaman itu dihitung berdasarkan respons sistem
perbankan negeri ini terhadap kebijakan moneter BI periode 2006-2008. Saat ini
bunga pinjaman masih ada yang bertahan di atas 16 persen.
Dampak dari belum turunnya bunga
pinjaman secara signifikan, sector riil kita menjerit meminta suku bunga
pinjaman diturunkan dengan segera. Memang bunga yang tinggi membuat biaya bunga
(cost of capital) menjadi tinggi. Hal ini juga membuat produk domestic sulit
bersaing dengan produk Negara-negara lain yang bunga pinjamannya jauh lebih
rendah dari bunga pinjaman disini. Daya saing produk kita pun tergerus dan
sector manufaktur kita menjadi sulit untuk tumbuh lebih cepat.
Di Indonesia, misalnya, BI
mengurangi monetary base dengan cara menerbitkan sertifikat Bank Indonesia
(SBI). Penerbitan SBI akan mengurangi uang dari system perekonomian kita karena
bank yang membeli SBI akan menyetorkan uang ke BI sebesar SBI yang dibelinya.
Uang yang diterima BI tersebut akan disimpan di BI sehingga ada uang yang
menjadi tidak dapat digunakan oleh perbankan kita. Suplai uang di system
financial kita pun menjadi berkurang.
Bila dilihat dari suku bunga saja,
BI memang tampak agresif melonggarkan kebijakan moneternya. Namun, kalau
dilihat dari sisi suplai uang, kebijakan moneter BI sebenarya masih kurang
ekspansif. Hal itu diperlihatkan dari monetary base yang tidak tumbuh, bahkan
pertumbuhannya negative dalam beberapa bulan terakhir ini. Itu berarti BI tidak
memompa cukup uang ke system agar suplai uang meningkat.
Salah satu penyebab terjadinya
pertumbuhan monetary base negative adalah terjadinya arus modal keluar pada
Oktober 2008 yang menyebabkan rupiah melemah secara signifikan waktu itu.
Tampaknya BI melakukan intervensi dengan menjual dollarnya atau menyerap rupiah
dari pasar. Hal ini mengakibatkan berkurangnya suplai uang di system finansial
kita. Kenaikan itu diperburuk pula oleh kenaikan SBI outstanding (total jumlah
SBI yang ada) sejak Oktober 2008, yang berarti BI menarik likuiditas dari
system finansial kita lebih banyak lagi.
SBI outstanding terus mengalami
kenaikan sejak saat itu. Pada September 2008 SBI outstanding berjumlah sekitar
Rp 116 Triliun. Pada Juni 2009, SBI outstanding sudah naik menjadi sekitar Rp.
239 triliun. Pada saat bersamaan, keterlambatan realisasi Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN) juga turut memperburuk keadaan. Akibatnya, pendapatan
pemerintah dari pajak ataupun dari surat utang Negara (SUN) tertahan di BI.
Pada Januari 2009 jumlah uang
pemerintah di rekening pemerintah di BI Rp. 104 triliun. Jumlah ini meningkat
menjadi Rp. 187 triliun yang ditarik keluar dari system finansial kita pada
periode tersebut.
5. Sektor Perbankan
Direktur Direktorat Penelitian dan
Pengaturan Perbankan Bank Indonesia Halim Alamsyah mengatakan angka sementara
kredit bulan kelima tahun ini menunjukkan tanda-tanda kenaikan walaupun belum
secepat tahun lalu. Berdasarkan catatan bisnis, Halim pernah menyampaikan
pertumbuhan kredit dalam 4 bulan pertama tahun ini hanya naik Rp.5 triliun.
Artinya dalam sebulan realisasi kredit perbankan rata-rata hanya naik Rp. 1,25
triliun.
Dengan realisasi kredit Mei sebesar
Rp.3 triliun berarti ada peningkatan hamper tiga kali lipat dibandingkan dengan
rata-rata 4 bulan sebelumnya, sehingga pembiayaan perbankan dalam 5 bulan ini
tumbuh sekitar Rp. 8 triliun.
Total kredit perbankan hingga Mei
menjadi Rp. 1.361,6 triliun—termasuk pembiayaan penerusan. Namun, angka itu
masih tercatat menurun jika dibandingkan dengan posisi November 2008 yang
pernah mencapai titik puncak sebesar Rp. 1.371,9 triliun.
Halim menyampaikan kondisi
likuiditas perbankan masih belum banyak berubah dibandingkan dengan posisi
April, tapi secara tahunan dana pihak ketiga masih tumbuh 17%-18%. Dengan
pertumbuhan sebesar 18% apabila dibandingkan dengan posisi Mei 2008 sebesar Rp.
1.505,6 triliun, dana pihak ketiga perbankan saat ini menjadi Rp. 1.776,6
triliun. Namun angka itu menyusut jika dibandingkan Maret 2008 yang sebesar Rp.
1.786 triliun.
6. Rasio Utang RI Turun
30%
Pada 1999 rasio utang Indonesia
100% karena saat itu pemerintah harus mengeluarkan surat utang baru sekitar Rp.
600 triliun untuk menyelamatkan perbankan nasional. Setelah itu rasio terus
menurun. Menkeu mengatakan bahwa, semua pemerintahan, mulai dari Presiden
Habibi, Gusdur, Ibu Megawati, hingga sekarang memiliki kebijakan yang sama,
menurunkan rasio utang-utang.
Tahun 2003, rasio utang Indonesia
terhadap PDB 61%, memasuki 2008 menjadi 33% terhadap PDB, dan tahun ini
pemerintah berniat menurunkan menjadi 32%. Total utang pemerintah Indonesia
saat ini hingga 29 Mei 2009 mencapai Rp. 1.700 triliun, yakni pinjaman luar
negeri Rp. 732 triliun dan surat berharga Negara (SBN) Rp. 968 triliun, yaitu
pinjaman luar negeri Rp. 730 triliun dan SBN Rp. 906 triliun.